teknologmuda.com –Hay sahabat semuah kembali lagi dengan saya admin di sini saya akan membahas mengenai Sebuah kepercayaan ihwal suleten kiranya masih dilaksanakan oleh kebanyakan orang.
Barang siapa yang membakar sandang si bayi, maka si bayi akan mengalami panas barah itu, atau apalagi terdapat coretan bakar di kulitnya.
Sandang bayi ini masih terikat dengan si bayi, supaya apa yang dirasakan sandang, si bayi akan turut merasakan.
Begitulah kira-kira persentase mitos suleten ini. Moment kiwari, popok memang jadi salah satu penyumbang besar atas sampah yang ada di sungai. Salah satu faktornya ya suleten ini.
Sesudah itu, terkait yang pantas untuk direnungkan ialah nasib lingkungan, khususnya sungai dengan adanya moment suleten.
Bukan salah alam kiranya banjir singgah melanda dan merugikan rakyat. Gara-gara, itulah karma yang perlu dituai. Jujur, tanpa kurangi rasa hormat, hal yang menjengkelkan bagi saya ialah mengkambing-hitamkan alam atas “Petaka” banjir yang dialami manusia.
Bagi saya, alam adalah suatu cermin raksasa. Apa yang dikacakan pada cermin ini, itulah yang sepantasnya terpantulkan. Konon, berbenah patut untuk dilaksanakan sehingga tuaian baik juga didapatkan.
Mitos sebagai Pendekatan
Di sungai, kami akan menemukan bermacam macam barang “Buangan” manusia. Tak cuman popok pasti saja; plastik, baju, ember pecah, botol kaca, dan tidak mengetahui wajib menyebut apa; saking banyaknya. Tetapi, salah satu sampah yang menarik perhatian adalah pembalut.
Di dalam konteks suleten, pembalut dan popok kiranya jadi benda yang tidak cukup lebih fungsinya mirip. Perbedaannya ya itulah. Mirip didalam hal ini artinya berinteraksi atau menampung hasil residu tubuh.
Lantas, berasal dari pantauan saya pada kabar-informasi yang ada, tidak saya temukan ihwal wanita yang mengalami suleten. Jika suleten sebatas berfungsi pada bayi, sesudah itu bagaimana jika popok yang dibuang ke sungai ini pada akhirnya dibakar oleh orang lain; atau disobek-sobek oleh orang lain.
Jika itu berlangsung, pasti si bayi akan mengalami moment yang serupa dengan yang dilaksanakan orang lain itu. Lantas, jika popok ini mengambang di sungai; pasti popok ini akan basah. Seharusnya, si bayi juga mengalami kedinginan laiknya popok itu.
Bagi saya, mitos jadi suatu pendekatan di dalam mendidik anak. Misalnya “Jangan memotong kuku malam hari”, mitos ini pasti akrab di telinga rakyat Jawa. Embargo ini pasti diberikan pada zaman pernah. Dikarenakan, zaman pernah orang memotong kuku dengan pisau/celurit.
Supaya, membahayakan jika ditunaikan gara-gara zaman pernah tidak ada penerangan yang mumpuni. Lantas, “Kecuali makan jangan di sedang pintu, nanti akan dimakan buto”. Secara etika, makan di sedang pintu akan menghalangi jalan, agar mengganggu orang yang berlalu-lalang.
Ketika berlangsung gerhana bulan, orang Jawa zaman pernah pasti akan mengatakan bulannya dimakan oleh buto. Kini, kami mengetahui bahwa gerhana berjalan sebab bulan, bumi, dan matahari berada di dalam garis lurus. Demikian dengan suleten, pada zaman pernah belum ada popok. Supaya, tafsiran zaman pernah memanglah sandang bayi.
Zaman pernah, motto “Banyak anak= banyak rezeki” begitu tersemat. Agar, baju bekas yang digunakan si bayi masih bisa digunakan untuk adiknya kelak. Bisa saja, pendekatan yang aktual pernah semacam itu.
Tidak cuman itu, di dalam kedokteran telah ditemukan dikarenakan adanya suleten atau istilah medisnya impetigo. Semoga saja pola pada gerhana bisa diadopsi di dalam momen suleten.
Warisan Kemaslahatan
Saya terlampau percaya bahwa orang-orang zaman pernah begitu menghargai keberadaan alam. Kami bisa menonton adanya ritus-ritus desa layaknya nyandran kali, labuhan merapi, sedekah bumi, dan lain sebagainya. Tidak cuman itu, kemaslahatan pada sesama begitu dijunjung. Misalnya, kultur orang Jawa yang bahagia mengalah demi orang lain; rewang.
Jika kami menyaksikan, manusia Jawa dahulu akan mampir mendukung memasak dan mengesampingkan kepentingannya demi kepentingan orang lain. Pola semacam ini juga nampak di dalam kultur siskamling, dan kesibukan sosial lainnya. Bertentangan dengan harapan kiranya dengan moment kiwari.
Kepercayaan pada suleten pasti tidak bisa disalahkan. Tapi, jika kami tilik kultur rakyat zaman pernah, pasti suleten jadi suatu keironian. Pasalnya, suleten terlalu bertentangan dengan kemaslahatan dengan juga kemaslahatan alam.
Kami kiranya tidak meneropong secara seluruhnya, tapi meneropong pada kepentingan diri sendiri. Agar, nilai akan kemaslahatan begitu diabaikan. Padahal memang kemaslahatan merupakan warisan leluhur juga, mirip layaknya suleten.
Jika boleh saya menerka, manusia kiwari lebih mementingkan dirinya dibandingkan kemaslahatan bersama dengan. Akan hadir tawa ketika diuntungkan, dan akan hadir teriakan ketika dirugikan. Manusia memang tidak ingin terugikan. Atas terkaan ini, kenyataan akan pembuangan popok kiranya masih massif berjalan.
Jika saja kami mau terima total warisan ihwal suleten juga kemaslahatan ini, pasti saja pembuangan popok ini akan jadi tanggungjawab personal: tidak akan merugikan orang lain dan juga merugikan alam.
Akhir Kata..
Demikian pembahasan yang bisa admin sampaikan semoga artikel ini bisa bermanfaat, sekian dan terimakasih